Jumat, 10 Agustus 2012

PUISI BASA SUNDA

"SANAJAN JAUH TAPI HATE DEKET"

Kieu geuning ari hate,
Najan aya dinu rame,
Rarasaan mah asa jempe,
Nunggeulis teu bisa dipalire,

Jauh ti anjeun,
Culang cileung asa keueung,
Di dayeuh jiga di leuweung,
Baluweung loba malaweung,

Duh jungjunan,
Pilakadar anggang,
moal jadi panghalang,
cinta pageuh nyancang,
Ngan anjeun nu dipikahayang,,,,,,,,,


"DIDIEU KURING NANGTUNG"

Didieu mangsa ka tukang
kuring nangtung..

Nitenan endahna alam priangan
lembur nu singkur, tengtrem karaharjaan
di luhur gunungna, dina legok landeuhna
ku herang caina, ku loba laukna
geledegan tangkalna, recet manukna
piit leutik dina luhur tangkal kai
nitenan pucuk awi singgarupay
mapag mangsa isuk isuk

Didieu mangsa ayeuna
kuring nangtung..

Nitenan robahna alam priangan
gunungna geus di tugaran
tangkalna geus di tuaran
caina mimita beak, laukna paeh sakarat
piit leutik dina luhur tangkal kai
nitenan pucuk awi ting garupay
semu sedih tur nalangsa
ku rusakna alam priangan

Didieu kuring nangtung...
Lembur priangan lembur kuring
karang panineungan, deudeuh teuing endahna
lembur geus semu udar ka silib ku zaman..

Kalipandan,
11 Agustus 2012

__b4lak4c1da



karya :kang wawan setiawan

Sabtu, 04 Agustus 2012

bodor pohang bag 2

ngalajengkeun tina bodor pohang bagian 1..
mangga di tingali








bodor pohang bag 1

VIDEO BODOR POHANG VS JENONG BAG 1







cepot bobodoran 2

Kumargi aya saran ti urang sunda kang fikri Urang sunda nu nyuhunkeun di lanjeutkeun ie bobodoran,maka blog sunda kabeh ngalobakeun dui video bodorana ngalajengkeun bobodoran cepot 1 abdi nyanggakeun bobodoran cepot 2







Senin, 30 Juli 2012

cepot bobodoran 1

video bodor cepot asli lucu pisan uy,,,,












Budaya Sunda Adalah Kesusastraan dan Pergelaran?

Kahudang ku seratan na kang Gibson, pamugi ieu tiasa janten bahan kangge "nambihan" wacana, emutaneun. boa enya urang téh salah ngahartikeun budaya sunda téh ?

mangga ieu seratan na : (hatur nuhun ka kang Gibson, punten pamendak na di cutat an, di sebarkeun, pamugi aya manfaatna).


Budaya Sunda Adalah Kesusastraan da Pergelaran
Oleh Drs. AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI, M.Ag.

Keprihatinan masyarakat Sunda terhadap kelangsungan hidup dan eksistensi budaya Sunda sudah sampai di ambang frustrasi, khususnya dari kalangan budayawan dan pengamat budaya Sunda. Kekhawatiran tersebut tampak pada isu dan strategi yang mereka angkat dan mereka gulirkan dalam sejumlah media massa, khususnya media massa cetak dalam bentuk majalah, buletin dan jurnal budaya. Ada satu kesimpulan yang bisa kita ambil dari isu dan strategi yang mereka gulirkan, yaitu bahwa kebudayaan etnis Sunda identik dengan bahasa Sunda khususnya kesusastraan, baik dalam bentuk cerita fiksi (cerita pendek, cerita bersambung, puisi, cerita humor dan pergelaran), maupun dalam bentuk esai (artikel) yang juga berkenaan dengan persoalan tersebut. Beberapa persen tentang sejarah Sunda, biografi budayawan dan ”inohong” dan priayi Sunda dan "artikel" tentang kekecewaan pengamat budaya dan politik tentang kekecewaan serta kritik mereka terhadap politisi dan situasi politik khususnya tentang minimnya andil politisi orang Sunda dalam percaturan politik nasional. Dan, bisa dipastikan dengan tanpa pemikiran yang mengajukan alternatif penyelesaian.

Kita sebut saja (dengan tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari peran dan jasa mereka dalam mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda) Majalah Sunda Mangle Panglipur, Swara Cangkurileung, Seni Budaya (BS), Cupumanik, dan yang lainnya serta sejumlah Home-Page tentang budaya dan masyarakat Sunda; secara keseluruhan menjadikan tema "sastra" dan pergelaran sebagai topik utamanya. Melihat hal tersebut, maka wajarlah bila budaya Sunda identik dengan "Sastra Sunda dan Pergelaran". Indikasi lain dapat pula kita lihat, terdapat karakteristik yang kurang lebih sama, kepedulian organisasi masa kedaerahan terbesar di Tatar Sunda, Damas, sebagai contoh, juga dengan tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari peran dan jasa mereka dalam mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda. Organisasi ini lebih Concern terhadap persoalan yang kurang lebih sama. Lihat saja pada bidang penghargaan yang dianugerahkan oleh organisasi ini. Secara keseluruhan penghargaan yang diberikan adalah berkenaan dengan dunia sastra dan pementasan; kalaupun ada dalam bidang pendidikan hanya berkenaan dengan pendidikan bahasa Sunda, tidak yang lain.

Efek negatif dari fenomena ini adalah munculnya kesan bahwa orang Sunda yang peduli terhadap bangsa dan budaya Sunda hanya dari kalangan budayawan (yang dipersempit pada bidang sastra, pergelaran dan para ahli bahasa Sunda), sementara para petani, agamawan, ilmuwan dan orang Sunda yang berkecimpung dalam bidang lainnya "seolah-olah" dinafikan. Dan yang lebih memprihatinkan, bila kita ditanya tentang siapa saja masuk kategori inohong Sunda? Jawabannya mudah ditebak! Dan tentunya tidak perlu saya katakan. Lihat saja bila ada pertemuan para inohong Sunda di waktu-waktu yang telah lalu.

Barangkali kita perlu bertanya ulang, apa sesungguhnya yang disebut dengan kebudayaan? Khususnya kebudayaan Sunda. Pertama, dalam perspektif modern, kebudayaan lebih dilihat sebagai (pada sisi) proses kreatif bukan pada produk (artefak) budayanya. Proses kreatif yang melibatkan budi (pemikiran) dan daya (aksi) untuk kepentingan masyarakatnya. Kedua, kalau pun kita harus melihat kebudayaan dalam sisi produk, para ahli antropologi budaya sepakat bahwa produk atau wujud kebudayaan sangatlah banyak, bukan hanya dalam wujud karya sastra dan seni; yang disebut kebudayaan, tentunya juga termasuk kebudayaan lokal dalam hal ini kebudayaan Sunda, meliputi aspek yang sangat luas: seluruh wujud sebagai hasil dari aktivitas produktif dari manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Bila demikian, dan kita sepakat dengan makna (definisi) budaya yang dikemukakan oleh para ahli antropologi (budaya) maka media massa dan organisasi etnik Sunda, khususnya, yang berorientasi mempertahankan, menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan Sunda harus juga mengembangkan perhatiannnya pada bidang-bidang tersebut. Kecuali, kalau memang media massa dan organisasi tersebut merupakan media masa dan organisasi yang secara ekplisit menyatakan diri bergerak dalam bidang tertentu, katakanlah dalam bidang: sastra atau pergelaran dan atau bidang spesifik lainnya. Karena, tentunya, kita tidak akan mau ikut-ikutan picik seperti media masa budaya dan organisasi sosal etnik lainnya.

Bila kita tetap bersitegang dengan cara pandang lama atau yang kini masih berlangsung, maka upaya kita untuk nanjeurkeun ajen-inajen ki Sunda tidak mustahil bila tidak mendapatkan respons dan dukungan dari masyarakat Sunda secara keseluruhan. Jangan-jangan sebenarnya mereka sangat concern dengan nasib kebudayaan Sunda, hanya concern mereka bukan dalam bidang sastra dan pergelaran. Bagi masyarakat demikian, tentunya tidak adil bila kita menyebut atau menuduh bahwa mereka tidak nyaah dan telah melupakan budayanya (Sunda) hanya gara-gara mereka tidak pernah membaca karya sastra Sunda dan tidak pernah menonton pergelaran karya seni Sunda, karena toh mereka pun tidak pernah membaca karya sastra dan pergelaran karya seni lainnya (selain sastra dan seni Sunda). Mungkin bagi merka, karena mayoritas masyarakat Sunda berada di bawah garis kemiskinan, mereka menganggap bahwa terlalu mahal dan mewah bila waktu dan uang mereka digunakan untuk membaca karya sastra dan menonton pergelaran, sementara kehidupan mereka sehari-hari pun koreh-koreh cok.

Mungkin karena memang akar budaya Sunda dibangun di atas sistem kehidupan (ladang kering) huma dan dibangun dari sistem sosial yang terdiri dari keluarga dekat (batih), maka lahirlah sikap yang cenderung individual (single fighter). Karena sikap individual tersebut, ketika kita memerlukan dukungan orang lain dan orang lain tidak mempedulikan kita dan tidak memberikan dukungan seperti yang kita harapkan, kita pun pada akhirnya cenderung sulit untuk memaklumi ketidakpedulian orang lain tersebut. Jangan-jangan ketidakpedulian mereka itu tiada lain karena kita pun tidak pernah berusaha untuk merangkul dan bersikap peduli terhadap persoalan (kehidupan) yang mereka hadapi dan alami. Atau, jangan-jangan hanya "perasaan" kitalah yang merasa tidak didukung. Seperti anak kecil yang pundung hanya karena tidak dibelikan permen oleh orang tuanya, kemudian merasa bahwa orang tuanya tidak sayang pada dirinya. Kita cenderung melakukan generalisasi terhadap satu fenomena atau persoalan "kecil" sebagai kenyataan dari seluruh fenomena dan persolan lainnya. Seperti telah digambarkan sebelumnya, gara-gara hanya sedikit yang membaca/mengonsumsi karya sastra Sunda, kita anggap bahwa hanya sedikit pula yang mencintai kebudayaan Sunda. Atau, hanya karena seorang elite politik Sunda tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari masyarakat Sunda, maka kita cenderung menuduh bahwa mereka sama sekali tidak peduli dengan masa depan etnik Sunda.

Bila kita terus berpikir sedemikian sempit dan cenderung berpikir negatif (negative thinking) terhadap orang lain dan persoalan yang kita hadapi, maka bagaimana kita bisa secara bersama-sama bangun dari keterpurukan. Berkenaan dengan fenomena (mentalitas) ini akan sangat berarti apabila kita mengingat apa yang dikatakan K.H. Hasan Mustapa dalam salah satu dangdingnya: Katuhu paranti nyatu, Kenca paranti susuci, Mulya hina duanana, Milik aing nu sajati, Mun aing beurat sabeulah, Tandaning ngalain-lain.

Kesinambungan Hidup Ki Sunda

Cukup benar-walaupun masih dapat diperdebatkan-pendapat Ibn Ghifarie bahwa keberadaan Ki Sunda (bahasa, aksara, sastra, agama) tinggal menanti ajal tiba karena generasi muda Sunda tidak lagi mau belajar kesundaan ("Natal dan Kebangkitan Ki Sunda" di Kompas Jawa Barat, 26/12/2009). Bahkan, jika ditarik ke area lebih luas, bukan saja Ki Sunda, yang secara geografis hanya mencakup wilayah Jawa Barat, melainkan juga seluruh Indonesia akan mengalami nasib sama, dengan penyebab yang sama pula.

Ini dampak dari keengganan generasi muda menghargai, memelihara, dan mempertahankan khazanah kekayaan bangsa, terutama bahasa dan budaya. Nasib tragis bahasa daerah, Sunda misalnya, tampak di depan mata, hanya karena UNESCO melansir data bahwa setiap hari ada 10 atau 100 bahasa ibu lenyap dari percaturan hidup manusia. UNESCO belum melansir data baru berdasarkan kenyataan yang menunjukkan, bahasa nasional pun, termasuk bahasa Indonesia, terancam punah akibat kegandrungan pemakainya terhadap bahasa asing.

Banyak hal yang menjadi penyebab keterpurukan bahasa-bahasa, terutama bahasa daerah, dan terutama lagi bahasa Sunda. Salah satu penyebab terkuat adalah mentalitas orang Sunda itu sendiri dalam menghargai bahasa ibunya. Selain tidak mau menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, karena dianggap tidak praktis, mereka takut tidak sesuai aturan undak usuk sehingga melanggar adab tata krama, selain juga karena kegiatan belajar dan mengajar bahasa Sunda sangat minim.

Kompas Jabar pernah menurunkan berita, yaitu sekolah-sekolah di Jabar kekurangan ribuan guru bahasa Sunda yang betul-betul memiliki kualifikasi (hak dan keahlian) mengajar bahasa Sunda di tingkat SMA dan SMP. Guru-guru yang sekarang mengajar bahasa Sunda diambil dari guru-guru yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi sebagai guru bahasa Sunda, atau asal dianggap bisa (karena mampu bicara bahasa Sunda) dan mau saja.

Pondok pesantren Pondok pesantren, yang disinggung Ghifarie sebagai pemelihara tradisi berbahasa Sunda, kini juga sudah kehilangan peran dan fungsi sebagai sentra budaya Sunda. Banyak pondok pesantren sekarang sudah berubah menjadi sekolah/madrasah yang berorientasi ijazah, mengikuti kurikulum Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional yang bersifat umum. Para santri sekarang kebanyakan "nyambi".

Mereka tidak lagi 100 persen menekuni ilmu fardu ain melalui kitab kuning untuk bekal dirinya menjadi ahli agama (tafaqquh fiddin), tetapi harus membagi waktu dengan menelaah beraneka ilmu fardu kifayah yang memungkinkan mereka berpeluang menjadi PNS atau pekerjaan lain di luar kesantrian dan kekiaian. Maka, alat komunikasi di pesantren yang dulu didominasi bahasa Sunda sekarang bergeser ke bahasa asing, terutama Inggris dan Arab, dan sehari-hari bahasa Indonesia. Di pondok pesantren modern Gontor, Jawa Timur, beserta pesantren-pesantren pecahannya di berbagai kawasan, bahasa daerah bahkan seolah-olah dilarang. Tujuannya, para santri terlepas dari sentimen etnis.

Ungkapan Sunda adalah Islam dan Islam adalah Sunda, yang pernah melekat berabad-abad, kini memang sudah pudar. Itu dimulai dari perasaan rendah diri menggunakan nama-nama yang mengandung nuansa integrasi keislaman dan kesundaan, seperti Muhammad, Salim, Salamah, dan Khadijah. Muhammad dalam lidah Sunda bisa berubah menjadi Mad, misalnya nama Muhammad Tarif (dilafalkan Madtarip) atau Emod. Salim menjadi Elim, Salamah menjadi Emeh, Khadijah menjadi Ijah, dan lain sebagainya. Itu terdengar sangat kampungan, tidak segaya Jek (Jack), Freddy, Susan, Natalie, dan lain sebagainya yang tidak nyunda.

Dapat dimengerti jika kemudian Sunda tidak indentik lagi dengan Islam. Perkembangan zaman, yang ditandai dengan keterbukaan, pluralisme, liberalisme, dan sejenisnya, menuntut penghilangan klaim atas nama agama tertentu terhadap etnis mana pun sehingga semua agama berhak memberi ciri masing-masing tanpa harus membesar-besarkan klaim tertentu.

Bahasa Sunda pun dapat menjadi bahasa universal bagi semua agama yang ada. Nama-nama khas Sunda, seperti Ohim, Suhadma, Encih, Onyon, dan Damiri, yang dulu-dulu dianggap bernuansa Islami, dapat saja digunakan siapa saja oleh warga non-Muslim. Begitu juga nama-nama yang bernuansa Nasrani, Hindu, dan Buddha, seperti Agustinus, Dewa, dan Trimurti, digunakan oleh sebagian umat Islam.

Hanya, karena mayoritas urang Sunda beragama Islam, sudah sepatutnya bahasa Sunda juga dapat dikonsumsi dengan baik. Namun, dalam kenyataan, sangat sulit membuka kemungkinan ke arah itu. Beberapa perguruan tinggi berlabel Islam yang memiliki jurusan atau fakultas dakwah rata-rata belum memiliki bidang studi bahasa Sunda, minimal sebagai pelengkap.

Belasan tahun lalu KH Endang Saifudin Anshari (almarhum) dalam sebuah seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, mengusulkan agar di fakultas dakwah ada mata pelajaran bahasa Sunda, dua atau tiga SKS saja. Tampaknya usulan penting tersebut tidak mendapat perhatian. Apalagi, sekarang IAIN sudah menjadi UIN yang tak mungkin mengurus bidang studi cecek bocek semacam bahasa Sunda.

Rendah diri Harus diakui, perguruan tinggi Islam di Jabar kalah langkah oleh perguruan tinggi Kristen dan Katolik dalam menjunjung tinggi budaya Sunda, terutama bahasa Sunda. Maka, tak mustahil dua-tiga tahun ke depan, pendeta dan pastor akan sangat fasih berbahasa Sunda di hadapan jemaahnya daripada ustaz dan mubalig yang bahasa Sunda-nya berlepotan di hadapan mustamik yang rata-rata hanya mengerti bahasa Sunda.

Karena itu, wajar pula jika Ghifarie, yang alumnus UIN, sangat bersemangat menjadikan Natal sebagai titik kebangkitan Ki Sunda. Ini disebabkan, salah satunya, oleh rasa rendah diri dalam menggunakan bahasa ibu, yang berujung pada keterpurukan budaya dan jati diri Ki Sunda.

Adapun bahasa Sunda masih menjadi obyek komersial beberapa oknum yang ingin meraup keuntungan dari proyek-proyek bergelimang uang yang mengatasnamakan kepentingan Ki Sunda, baik melalui penerbitan buku-buku pelajaran dan bacaan bahasa Sunda maupun penataran-penataran bahasa Sunda yang diselenggarakan secara formal dan verbal. Kegiatan mereka tanpa menyentuh kepentingan bahasa Sunda dan pemakainya yang berada di pelosok Jabar.