Senin, 30 Juli 2012

Kesinambungan Hidup Ki Sunda

Cukup benar-walaupun masih dapat diperdebatkan-pendapat Ibn Ghifarie bahwa keberadaan Ki Sunda (bahasa, aksara, sastra, agama) tinggal menanti ajal tiba karena generasi muda Sunda tidak lagi mau belajar kesundaan ("Natal dan Kebangkitan Ki Sunda" di Kompas Jawa Barat, 26/12/2009). Bahkan, jika ditarik ke area lebih luas, bukan saja Ki Sunda, yang secara geografis hanya mencakup wilayah Jawa Barat, melainkan juga seluruh Indonesia akan mengalami nasib sama, dengan penyebab yang sama pula.

Ini dampak dari keengganan generasi muda menghargai, memelihara, dan mempertahankan khazanah kekayaan bangsa, terutama bahasa dan budaya. Nasib tragis bahasa daerah, Sunda misalnya, tampak di depan mata, hanya karena UNESCO melansir data bahwa setiap hari ada 10 atau 100 bahasa ibu lenyap dari percaturan hidup manusia. UNESCO belum melansir data baru berdasarkan kenyataan yang menunjukkan, bahasa nasional pun, termasuk bahasa Indonesia, terancam punah akibat kegandrungan pemakainya terhadap bahasa asing.

Banyak hal yang menjadi penyebab keterpurukan bahasa-bahasa, terutama bahasa daerah, dan terutama lagi bahasa Sunda. Salah satu penyebab terkuat adalah mentalitas orang Sunda itu sendiri dalam menghargai bahasa ibunya. Selain tidak mau menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, karena dianggap tidak praktis, mereka takut tidak sesuai aturan undak usuk sehingga melanggar adab tata krama, selain juga karena kegiatan belajar dan mengajar bahasa Sunda sangat minim.

Kompas Jabar pernah menurunkan berita, yaitu sekolah-sekolah di Jabar kekurangan ribuan guru bahasa Sunda yang betul-betul memiliki kualifikasi (hak dan keahlian) mengajar bahasa Sunda di tingkat SMA dan SMP. Guru-guru yang sekarang mengajar bahasa Sunda diambil dari guru-guru yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi sebagai guru bahasa Sunda, atau asal dianggap bisa (karena mampu bicara bahasa Sunda) dan mau saja.

Pondok pesantren Pondok pesantren, yang disinggung Ghifarie sebagai pemelihara tradisi berbahasa Sunda, kini juga sudah kehilangan peran dan fungsi sebagai sentra budaya Sunda. Banyak pondok pesantren sekarang sudah berubah menjadi sekolah/madrasah yang berorientasi ijazah, mengikuti kurikulum Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional yang bersifat umum. Para santri sekarang kebanyakan "nyambi".

Mereka tidak lagi 100 persen menekuni ilmu fardu ain melalui kitab kuning untuk bekal dirinya menjadi ahli agama (tafaqquh fiddin), tetapi harus membagi waktu dengan menelaah beraneka ilmu fardu kifayah yang memungkinkan mereka berpeluang menjadi PNS atau pekerjaan lain di luar kesantrian dan kekiaian. Maka, alat komunikasi di pesantren yang dulu didominasi bahasa Sunda sekarang bergeser ke bahasa asing, terutama Inggris dan Arab, dan sehari-hari bahasa Indonesia. Di pondok pesantren modern Gontor, Jawa Timur, beserta pesantren-pesantren pecahannya di berbagai kawasan, bahasa daerah bahkan seolah-olah dilarang. Tujuannya, para santri terlepas dari sentimen etnis.

Ungkapan Sunda adalah Islam dan Islam adalah Sunda, yang pernah melekat berabad-abad, kini memang sudah pudar. Itu dimulai dari perasaan rendah diri menggunakan nama-nama yang mengandung nuansa integrasi keislaman dan kesundaan, seperti Muhammad, Salim, Salamah, dan Khadijah. Muhammad dalam lidah Sunda bisa berubah menjadi Mad, misalnya nama Muhammad Tarif (dilafalkan Madtarip) atau Emod. Salim menjadi Elim, Salamah menjadi Emeh, Khadijah menjadi Ijah, dan lain sebagainya. Itu terdengar sangat kampungan, tidak segaya Jek (Jack), Freddy, Susan, Natalie, dan lain sebagainya yang tidak nyunda.

Dapat dimengerti jika kemudian Sunda tidak indentik lagi dengan Islam. Perkembangan zaman, yang ditandai dengan keterbukaan, pluralisme, liberalisme, dan sejenisnya, menuntut penghilangan klaim atas nama agama tertentu terhadap etnis mana pun sehingga semua agama berhak memberi ciri masing-masing tanpa harus membesar-besarkan klaim tertentu.

Bahasa Sunda pun dapat menjadi bahasa universal bagi semua agama yang ada. Nama-nama khas Sunda, seperti Ohim, Suhadma, Encih, Onyon, dan Damiri, yang dulu-dulu dianggap bernuansa Islami, dapat saja digunakan siapa saja oleh warga non-Muslim. Begitu juga nama-nama yang bernuansa Nasrani, Hindu, dan Buddha, seperti Agustinus, Dewa, dan Trimurti, digunakan oleh sebagian umat Islam.

Hanya, karena mayoritas urang Sunda beragama Islam, sudah sepatutnya bahasa Sunda juga dapat dikonsumsi dengan baik. Namun, dalam kenyataan, sangat sulit membuka kemungkinan ke arah itu. Beberapa perguruan tinggi berlabel Islam yang memiliki jurusan atau fakultas dakwah rata-rata belum memiliki bidang studi bahasa Sunda, minimal sebagai pelengkap.

Belasan tahun lalu KH Endang Saifudin Anshari (almarhum) dalam sebuah seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, mengusulkan agar di fakultas dakwah ada mata pelajaran bahasa Sunda, dua atau tiga SKS saja. Tampaknya usulan penting tersebut tidak mendapat perhatian. Apalagi, sekarang IAIN sudah menjadi UIN yang tak mungkin mengurus bidang studi cecek bocek semacam bahasa Sunda.

Rendah diri Harus diakui, perguruan tinggi Islam di Jabar kalah langkah oleh perguruan tinggi Kristen dan Katolik dalam menjunjung tinggi budaya Sunda, terutama bahasa Sunda. Maka, tak mustahil dua-tiga tahun ke depan, pendeta dan pastor akan sangat fasih berbahasa Sunda di hadapan jemaahnya daripada ustaz dan mubalig yang bahasa Sunda-nya berlepotan di hadapan mustamik yang rata-rata hanya mengerti bahasa Sunda.

Karena itu, wajar pula jika Ghifarie, yang alumnus UIN, sangat bersemangat menjadikan Natal sebagai titik kebangkitan Ki Sunda. Ini disebabkan, salah satunya, oleh rasa rendah diri dalam menggunakan bahasa ibu, yang berujung pada keterpurukan budaya dan jati diri Ki Sunda.

Adapun bahasa Sunda masih menjadi obyek komersial beberapa oknum yang ingin meraup keuntungan dari proyek-proyek bergelimang uang yang mengatasnamakan kepentingan Ki Sunda, baik melalui penerbitan buku-buku pelajaran dan bacaan bahasa Sunda maupun penataran-penataran bahasa Sunda yang diselenggarakan secara formal dan verbal. Kegiatan mereka tanpa menyentuh kepentingan bahasa Sunda dan pemakainya yang berada di pelosok Jabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar